Berita Desa

BCA Banner web

Data Empiric adalah Bahasa Demokratis

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Oleh : Nafik Umurul hadi

https://lh3.googleusercontent.com/-LwF5SvJyYCg/YUJsv0ecFRI/AAAAAAAAAeM/XsdCl_9wlB4QE92--VU_m5KpsNgo5AQcwCLcBGAsYHQ/image.png

    Dalam menjalani kehidupan keseharian data empiric memberikan reorientasi dan tuntunan ilmiah kepada siapa saja, baik pemerintah, pengusaha, politisi, pengamat dan masyarakat luas agar tidak terjebak pada bahasa-bahasa verbal subyektif, yaitu Bahasa tutur yang tanpa melihat ukuran berdasar eviden-based. Pada masyarakat tradisional Bahasa verbal sangat mendominasi. Dominasi penggunaan bahasa ini jika diaplikasikan pada urusan-urusan umum, apalagi untuk penilaian kinerja pembangunan negara akan sangat membahayakan. Ia akan berpotensi menjadi sewenang-wenang dan memaksakan kehendak. Misalnya kita menjumpai banyak orang-orang yang tidak mampu secara ekonomi, maka serta merta kita menyimpulkan maka masyarakat Indonesia masih miskin, ketika kita melihat anggota keluarga kita ada sahabat menganggur maka kita berkata bahwa ini adalah negara penganggur. Anak, keponakan dan kerabatnya yang masih menganggur dijadikan buktinya.

    Pada kebudayaan masyarakat modern dewasa ini, dominasi Bahasa verbal atau budaya kualitatif dalam membahas persoalan negara sudah lama ditinggalkan dan diseimbangkan dengan Bahasa empiric. Jangankan didunia modern pada jaman Caesar Augustus dari kerajaan Romawi pada tahun 1 masehi telah mengingatkan penduduknya bahwa untuk membangun negeri yang besar diperlukan data statistic yang terpercaya agar masyarakat memiliki pedoman dengan bahasa yang jelas terukur.

Semua negara didunia mengukur pencapaian pembangunannya bersandar pada data empiric yang dihasilkan oleh Lembaga resmi negara tersebut. Tidak ada negara didunia yang menyandarkan pada kesimpulan pribadi atas suatu gejala yang dilihat dari peristiwa keseharian. Dalam debat calon presiden dinegara Amerika atau negara maju lainnya data statistic sebagai pengemuka fakta selalu ditampilkan, karena tanpa itu pembicaraan hanyalah omong kosong dan cenderung sewenang-wenang. Oleh karena itu sekarang ini dunia telah mengetahui dan menyadari peran vital evidence based statistic sebagai informasi resmi yang mengandung nilai pengetahuan.

    Wujud kesadaran Bersama tersebut Lembaga PBB melalui OECD, OIC dan Word Bank mengukuhkan deklarasi Istambul, bahwa dunia harus memperkuat diri dengan kultur data sebagai realitas yang disebut sebagai “ A Culture of evidence based “.

Sepertinya di Indonesia akhir-akhir ini ada kesan bahwa kultur evidence based atau Facts based masih merupakan tantangan tersendiri, obyektifitas fakta hasil pengukuran statistic yang menggunakan standart dan ukuran universal berusaha digeser kearah kultur lama yang lebih menonjolkan Bahasa kualitatif verbal yang justru merefleksikan cara berfikir dan bertindak yang membuka peluang bagi kesewang-wenangan, (Jausari Hasbullah, 2012). Terus bertahannya kultur tutur verbal dalam menilai suatu capaian pembangunan, misalnya mengesankan bahwa suatu pendapat tidak didasarkan pada fakta, melainkan didasarkan lebih kearah selera pribadi tertentu. Kultur verbal ini pun terkesan disuburkan oleh beberapa media. Jika kecenderungan ini terus dikembangkan maka bisa jadi keadaan ini akan sangat tidak menguntungka bagi keberlangsungan demokrasi dan bangsa Indonesia. Masyarakat sipil yang berkualitas dan beradab akan semakin sulit dibangun.

Mengesampingkan Indikator universal yang obyektif dan menggantikannya dengan penilaian  yang subyektif yang bercirikan sekumpulan kesimpulan pribadi yang kurang jelas dasar pijakannya, berarti sama artinya membiarkan masyarkat Indonesia terjebak pada budaya kekacauan, penghujatan, pencelaan, dan pengumpatan yang pada akhirnya akan memperlemah sendi-sendi kehidupan kita sebagai bangsa.

Negara maju didunia terus berupaya memperbaiki diri mereka dengan memperkuat kultur evidence-based decision making. Semua keputusan pembangunan, pengkajian dan evaluasi hasil-hasil pembangunan didasarkan pada evidence-based (fakta). Stakeholder harus menyakini bahwa suatu negara yang mengabaikan evidence-based akan menjadi lemah dan terisolasi dari informasi dunia. Bagaimana dia dapat melakukan ekspansi perdagangan luar negerinya kalau negara tersebut tidak  mengetahui fakta-fakta riil dan obyektif dunia dan negara lain, dan fakta itu dapat diperoleh gambaran seutuhnya hanya diperoleh dengan kemampuan kita membaca data statistic yang mereka punyai. (The power of statistics :28)

Investasi asing akan masuk ke suatu negara karena adanya data statistic yang menggambarkan bagaimana pertumbuhan sector-sektor ekonomi di negara tujuan yang dapat dibaca melalui data PDB-nya, bagaimana gambaran demografis negara tersebut  yang akan dikaitkan dengan kemungkinan pemasaran suatu produk dan juga potret ketersediaan bahan baku (raw  material) dan beragam info yang lain. Dukungan kebutuhan akan data adalah sangat diperlukan dalam berbahagai keperluan info capaian pembangunan ataupun untuk keperluan perluasan usaha karena itu akan sangat naif jika diantara kita mengabaikan informasi yang dihasilkan dari data evidence Based. semoga ulasan singkat ini bisa memberikan manfaat buat pembacanya,

Wassalamu’alaiku wrwb.

Sumber :https://nafiumurulhadi.blogspot.com/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *